Masjidku.id – Makam Syekh Siti Jenar menyimpan kisah penuh misteri dan kontroversi ajaran tasawuf yang mengguncang penyebaran Islam di tanah Jawa.
Sejarah Islam di Jawa tidak hanya di warnai oleh dakwah para wali yang damai, tetapi juga oleh kisah tokoh yang penuh teka-teki dan kontroversi — Syekh Siti Jenar.
Ia di kenal sebagai seorang ulama sufi yang memiliki pemikiran berbeda dari Wali Songo, bahkan ajarannya sempat dianggap menyimpang oleh kalangan ortodoks pada masanya.
Makam Syekh Siti Jenar hingga kini menjadi tempat ziarah dan refleksi spiritual, meski di baliknya tersimpan kisah panjang tentang perdebatan teologis dan perbedaan pandangan tentang hakikat Tuhan dan manusia.
BACA JUGA : Masjid Indah di Kalimantan Selatan yang Wajib Dikunjungi
1. Siapa Syekh Siti Jenar?
Syekh Siti Jenar di kenal dengan berbagai nama, seperti Syekh Lemah Abang, San Ali, atau Sayyid Hasan Ali.
Asal-usulnya masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan. Ada yang menyebut ia berasal dari Cirebon, ada pula yang mengatakan ia lahir di daerah Lemah Abang, Jawa Tengah.
Dalam sejumlah naskah kuno, Syekh Siti-Jenar di sebut sebagai murid Sunan Bonang, salah satu anggota Wali Songo.
Namun, berbeda dengan gurunya dan para wali lainnya, Syekh Siti-Jenar menafsirkan ajaran Islam dengan pendekatan mistik dan tasawuf tingkat tinggi yang di sebut manunggaling kawula Gusti — persatuan antara hamba dengan Tuhan.
2. Ajaran Manunggaling Kawula Gusti
Ajaran utama Syekh Siti-Jenar adalah konsep penyatuan manusia dengan Tuhan.
Menurutnya, manusia sejatinya adalah bagian dari keberadaan Ilahi, dan dalam proses spiritual yang mendalam, seorang hamba dapat mencapai kesadaran tertinggi hingga menyatu dengan Tuhan.
Dalam pandangan tasawuf, pemikiran ini di kenal dengan istilah wahdatul wujud, yang juga di temukan dalam ajaran sufi besar seperti Ibn Arabi dan Al-Hallaj.
Namun, di Jawa, ajaran ini di pahami secara lebih simbolis sebagai kesadaran akan kehadiran Tuhan di dalam diri manusia.
Masalah muncul ketika sebagian masyarakat menafsirkan ajaran Syekh Siti-Jenar secara harfiah, seolah ia menganggap diri nya setara dengan Tuhan.
Inilah yang kemudian menimbulkan kontroversi besar di kalangan para ulama dan Wali Songo.
3. Konflik Syekh Siti Jenar dengan Wali Songo
Syekh Siti Jenar di anggap berbeda pandangan dalam cara menyebarkan Islam.
Jika Wali Songo menggunakan pendekatan budaya dan simbol, Syekh Siti Jenar lebih menekankan pada kesadaran batiniah dan kebebasan spiritual.
Ia juga mengkritik formalitas agama dan menolak aturan syariat yang di anggapnya membatasi esensi hubungan langsung antara manusia dan Tuhan.
Perbedaan pandangan ini membuatnya di anggap menyebarkan ajaran yang menyesatkan, dan akhirnya di hadapkan ke sidang para wali.
Menurut kisah yang termuat dalam Serat Siti Jenar dan Babad Tanah Jawi, Syekh Siti-Jenar di jatuhi hukuman mati oleh Wali Songo karena di anggap membahayakan kesatuan umat Islam di Jawa.
Namun, kisahnya tidak berakhir di situ. Beberapa versi menyebut bahwa Syekh Siti Jenar tidak benar-benar mati, melainkan “menghilang” secara spiritual — simbol dari mencapai kesempurnaan makrifat.
4. Letak dan Misteri Makam Syekh Siti Jenar
Menariknya, makam Syekh Siti Jenar hingga kini di temukan di beberapa tempat berbeda, menambah aura misteri di sekeliling sosoknya.
Beberapa lokasi yang di yakini sebagai makamnya antara lain:
- Lemah Abang, Cirebon – di anggap lokasi utama, karena “lemah abang” berarti tanah merah, sesuai dengan nama julukannya.
- Desa Blimbing, Kabupaten Demak – dip ercaya sebagai tempat eksekusi dan pemakamannya setelah pertemuan dengan Wali Songo.
- Desa Sitijenar, Banyumas – beberapa versi menyebut ia di makamkan di sini karena mengasingkan diri di wilayah tersebut.
Perbedaan lokasi makam ini mencerminkan kerahasiaan dan kehormatan terhadap sosok Syekh Siti-Jenar, yang oleh sebagian masyarakat di anggap sebagai wali yang tidak di akui secara resmi.
Ziarah ke makam Syekh Siti Jenar sering di lakukan oleh para pencari ilmu batin dan penganut tasawuf.
Mereka percaya bahwa makam tersebut memiliki energi spiritual tinggi dan dapat menjadi tempat untuk bermeditasi serta memperdalam kesadaran ketuhanan.
5. Kontroversi dan Warisan Pemikiran
Kontroversi Syekh Siti-Jenar tidak hanya terjadi pada masa hidupnya, tetapi juga terus berlanjut hingga kini.
Sebagian kalangan menganggapnya sebagai ulama besar yang memahami makna terdalam Islam, sementara yang lain melihatnya sebagai figur yang melampaui batas ortodoksi agama.
Meskipun begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa pemikiran Syekh Siti-Jenar memiliki pengaruh besar terhadap spiritualitas masyarakat Jawa.
Konsep manunggaling kawula Gusti kemudian menjadi landasan dalam ajaran kejawen, yaitu pandangan hidup orang Jawa yang menggabungkan unsur Islam, budaya lokal, dan mistisisme.
Syekh Siti-Jenar mengajarkan bahwa kebenaran sejati tidak hanya ditemukan di luar diri melalui ritual, tetapi juga di dalam kesadaran manusia yang murni.
Pemikirannya memberi warna pada Islam Nusantara — yang terbuka, reflektif, dan berakar kuat pada budaya lokal.
6. Refleksi Spiritual di Masa Kini
Meskipun ajarannya pernah dianggap sesat, nilai-nilai yang diajarkan Syekh Siti-Jenar kini banyak dipahami dalam konteks pencarian spiritual yang lebih dalam.
Ia mengajarkan pentingnya kejujuran spiritual, kebebasan berpikir, dan kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam setiap aspek kehidupan.
Di era modern, kisah Syekh Siti-Jenar mengajarkan kita bahwa perbedaan tafsir agama adalah bagian dari dinamika intelektual dan spiritual umat manusia.
Ia menjadi simbol bagi pencari kebenaran yang berani melampaui batas formalitas, tanpa kehilangan rasa cinta kepada Sang Pencipta.
Kesimpulan
Makam Syekh Siti Jenar bukan hanya tempat peristirahatan seorang ulama, tetapi juga pusat refleksi spiritual dan intelektual bagi masyarakat Jawa.
Kontroversinya mencerminkan benturan antara kebebasan berpikir dan otoritas keagamaan, antara pencarian makna hakiki dan aturan formalitas agama.Terlepas dari kontroversi tersebut, Syekh Siti-Jenar tetap dikenang sebagai tokoh sufi besar Nusantara yang berani menafsirkan Islam dengan cara yang berbeda.
Warisannya bukan sekadar ajaran tasawuf, tetapi juga pesan universal tentang cinta, kesadaran, dan persatuan manusia dengan Tuhan.
