
Bacaan tawasul ziarah kubur
Masjidku.id – Etnis Druze dan Israel memiliki hubungan historis yang kompleks, yang kembali menjadi perhatian dunia dalam konflik sektarian di Sweida, Suriah, pada Juli 2025. Bentrokan antara milisi Druze dan suku Badui Sunni di provinsi tersebut menewaskan ratusan orang, memicu intervensi militer Israel dengan dalih melindungi komunitas Druze. Namun, langkah ini menuai kecaman sebagai upaya Israel memperluas pengaruh geopolitik di Suriah. Artikel ini mengupas identitas etnis Druze, hubungan mereka dengan Israel, dan dinamika konflik Sweida 2025.
Latar Belakang Konflik Sweida dan Peran Etnis Druze serta Israel
Etnis Druze dan Israel menjadi pusat perhatian ketika konflik berdarah meletus di Sweida, Suriah selatan, pada awal Juli 2025. Bentrokan antara milisi Druze dan suku Badui Sunni dipicu oleh insiden penculikan dan serangan, yang kemudian berkembang menjadi kekerasan antar-komunitas terburuk sejak perang saudara Suriah dimulai pada 2011. Menurut laporan Associated Press (19 Juli 2025), lebih dari 300 orang tewas, dengan sumber lokal mengklaim angka kematian mencapai lebih dari 1.100 jiwa.
Konflik ini menyebabkan lebih dari 1.500 warga Badui dievakuasi ke Daraa dengan bantuan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Suriah, sementara PBB memperkirakan 128.000 penduduk terdampak. Situasi memanas ketika milisi Druze meminta bantuan Israel, yang merespons dengan serangan udara terhadap fasilitas militer pemerintah Suriah di Damaskus dan Sweida. Aksi ini memicu kritik keras dari utusan AS untuk Suriah, Tom Barrack, yang menyebut intervensi Israel sebagai langkah yang membahayakan stabilitas Suriah.
Siapa Etnis Druze dan Hubungan Mereka dengan Israel?
Etnis Druze dan Israel memiliki ikatan yang unik dibandingkan komunitas Arab lainnya. Druze adalah kelompok etnoreligius yang berakar dari Syiah Ismailiyah, yang berkembang menjadi entitas agama tersendiri sejak abad ke-10. Dengan populasi sekitar 700.000 jiwa di Suriah, 400.000 di Lebanon, dan 140.000 di Israel, Druze dikenal karena ajaran agama yang tertutup dan loyalitas kuat terhadap negara tempat mereka tinggal.
Di Israel, Druze memiliki status istimewa sebagai satu-satunya kelompok Arab yang wajib militer di Pasukan Pertahanan Israel (IDF) sejak 1957. Mereka sering disebut sebagai “sekutu darah” Israel, dengan banyak anggota Druze menempati posisi penting di militer dan kepolisian. Menurut laporan Wikipedia tentang “Druze in Israel,” hubungan ini diperkuat oleh pengakuan resmi Israel terhadap Druze sebagai entitas agama dan etnis yang terpisah dari Islam, menjadikan mereka “sekutu alami” di tengah mayoritas Muslim di Timur Tengah.
Di Suriah, Druze di Sweida memiliki otonomi keamanan melalui milisi bersenjata mereka, yang mengelola wilayah tersebut secara independen. Tokoh spiritual Druze Israel, Syekh Mowafaq Tarif, secara terbuka meminta perlindungan Israel untuk Druze di Sweida, yang memicu serangan udara Israel pada Juli 2025. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebut intervensi ini sebagai “tindakan kemanusiaan dan strategis.”
Dinamika Geopolitik di Balik Konflik Sweida
Etnis Druze dan Israel tidak hanya terhubung oleh ikatan historis, tetapi juga oleh kepentingan geopolitik. Menurut Dr. Lina Khatib dari Carnegie Middle East Center, konflik Sweida mencerminkan krisis identitas nasional Suriah yang belum terselesaikan, diperumit oleh intervensi eksternal seperti dari Israel. Osama Al-Sharif, kolumnis Arab News, menyebut klaim Israel untuk melindungi Druze sebagai “kedok” untuk melemahkan Suriah dan memecah-belah wilayah Arab.
Walid Jumblatt, pemimpin Druze Lebanon, juga mengecam intervensi Israel sebagai bagian dari rencana jangka panjang untuk memfragmentasi kawasan. Postingan di X menunjukkan sentimen serupa, dengan beberapa pengguna menyatakan bahwa Israel memanfaatkan Druze untuk memperluas pengaruhnya di Suriah, sementara Druze Suriah menghadapi ancaman dari kelompok Sunni ekstremis. Namun, informasi dari X ini bersifat tidak konklusif dan perlu diverifikasi lebih lanjut.
Dampak Konflik Sweida dan Intervensi Israel
Etnis Druze dan Israel menjadi pusat kontroversi karena intervensi Israel memperburuk situasi di Sweida. Serangan udara Israel terhadap fasilitas militer Suriah tidak hanya meningkatkan ketegangan dengan pemerintah Suriah, tetapi juga memicu kemarahan di kalangan warga Badui Sunni, yang merasa menjadi target. Ribuan warga Badui terpaksa mengungsi, dan beberapa rumah mereka dibakar dalam bentrokan.
Reaksi internasional juga keras. AS, melalui Tom Barrack, menyatakan bahwa tindakan Israel kontraproduktif terhadap upaya stabilisasi Suriah. Sementara itu, pemerintah sementara Suriah berupaya menengahi konflik dengan menarik pasukan dari Sweida dan mengumumkan gencatan senjata pada 16 Juli 2025, meskipun bentrokan kembali terjadi pada 18 Juli 2025.
Perspektif Druze Suriah: Antara Loyalitas dan Ketegangan
Meskipun etnis Druze dan Israel memiliki hubungan erat di Israel, Druze Suriah memiliki pandangan yang beragam. Banyak pemimpin Druze Suriah menolak campur tangan Israel, khawatir tindakan ini akan memperburuk persepsi bahwa mereka bersekutu dengan Israel, musuh tradisional Suriah. Syekh Hikmat al-Hijri, pemimpin spiritual Druze Suriah, bahkan menolak kehadiran pasukan pemerintah Suriah di Sweida, menunjukkan ketegangan antara otonomi lokal dan otoritas nasional.
Namun, sebagian Druze Suriah, terutama di Sweida, meminta bantuan Israel karena merasa terancam oleh kelompok ekstremis Sunni yang didukung pemerintah sementara Suriah di bawah Presiden Ahmed al-Sharaa. Hal ini mencerminkan dilema identitas Druze: loyalitas kepada komunitas mereka versus tekanan geopolitik eksternal.