
Masjidku.id – Masjid Jami Angke Al-Anwar di Jakarta Barat adalah salah satu masjid tertua dengan arsitektur akulturatif dan makna sejarah mendalam di tengah keberagaman kota.
Pendahuluan
Di tengah hiruk-pikuk kota Jakarta Barat, berdiri sebuah masjid kecil yang menyimpan cerita panjang masa lalu — Masjid Jami Angke Al-Anwar, lebih di kenal sebagai Masjid Angke. Meski ukurannya tidak besar, masjid ini memiliki keistimewaan sebagai saksi sejarah, simbol akulturasi budaya, dan bukti kebhinekaan di ibu kota. Dengan usia lebih dari dua abad, Masjid Angke terus berfungsi sebagai tempat ibadah sekaligus warisan budaya yang di lindungi.
Sejarah Berdirinya Masjid Angke
Menurut catatan dan prasasti yang ada, Masjid Angke di bangun pada 2 April 1761 M / 26 Sya’ban 1174 H. Beberapa sumber juga mencatat bahwa permukaan masyarakat menyebutkan pendiriannya di lakukan oleh seorang wanita keturunan Tionghoa Muslim, bernama Ny. Tan Nio atau Tan Nio, yang menikah dengan seorang pria dari Banten.
Sebelum pembangunan formal tahun 1761, ada indikasi bahwa di lokasi tersebut sudah ada tempat ibadah kecil atau aktivitas keagamaan bagi komunitas Muslim lokal, khususnya masyarakat yang datang dari berbagai latar belakang etnis seperti Tionghoa, Bali, dan Jawa. Setelah berdirinya, Masjid Angke sering mengalami pemugaran dan pemeliharaan agar tetap berfungsi dan tidak kehilangan karakter aslinya.
Masjid ini sempat mengalami masa terlantar antara tahun 1919 hingga 1936, namun kemudian di pugar kembali pada tahun 1951. Pada era modern, fasad dan struktur pokoknya tetap di pertahankan agar karakter asli tetap terjaga.
Arsitektur dan Karakteristik Unik
Masjid Angke di kenal karena gaya arsitekturnya yang akulturatif, yaitu memadukan elemen-elemen dari budaya Jawa, Bali, Tionghoa, Arab dan pengaruh Belanda kolonial.
Berikut beberapa ciri khasnya:
- Denah bangunan utamanya berbentuk persegi (sekitar 15 × 15 meter).
- Atapnya bertingkat dua dengan gaya atap Jawa (limasan) namun puncaknya melengkung ala “punggel” Bali (ujung melengkung ke atas).
- Jendela dan kusen pintu memiliki jeruji dan motif ukiran khas yang mencerminkan pengaruh Tionghoa dalam detailnya.
- Elemen Eropa terlihat pada bingkai pintu, detail ukiran ornament gaya kolonial, dan penggunaan kayu jati pada tiang utama.
- Lantai ruang sholat di naikkan beberapa anak tangga (sekitar lima langkah) dari ruang luar. Hal ini di lakukan karena area ini rawan banjir, terutama terkait kedekatannya dengan Kali Angke.
- Kompleks masjid mencakup halaman dan area makam – terdapat makam tokoh pendiri dan beberapa tokoh masyarakat di belakang masjid.
- Seluruh bangunan masjid berada dalam lahan sekitar 930 m², dan luas bangunan pokok sekitar 225 m².
Karena mempertahankan garis asli dan karakter arsitektur tua, Masjid Angke di anggap sebagai salah satu masjid yang “tidak banyak berubah” sejak pendiriannya.
Fungsi Sosial, Keagamaan, dan Simbol Kebhinekaan
Sejak dulu, Masjid Angke telah menjadi pusat kegiatan keagamaan masyarakat di kawasan Tambora dan sekitarnya — bukan hanya sebagai tempat sholat tetapi juga tempat pengajian, forum komunitas, sambungan sejarah lokal, dan titik temu antar etnis.
Kampung di sekitar masjid di kenal sangat plural: di huni oleh suku Bali, Jawa, Tionghoa, India, Arab, dan Sunda. Kombinasi ini mencerminkan bagaimana masyarakat Jakarta lama tumbuh dalam keberagaman.
Dalam konteks sejarah perjuangan, Masjid Angke juga pernah di gunakan sebagai tempat pertemuan para pejuang lokal melawan penindasan kolonial Belanda. Karena kedekatannya dengan rute-rute lama dan kampung-kampung lama Batavia, peran masjid ini dalam sejarah lokal sangat kuat.
Masjid ini juga telah di tetapkan sebagai bangunan cagar budaya berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta No. 1371 Tahun 2019, sehingga bangunan dan karakternya harus di lestarikan.
Setiap malam Jumat dan pada malam-malam istimewa, masjid ini ramai di kunjungi peziarah dari dalam dan luar kota yang ingin mendekat dalam suasana khusyuk, menghormati leluhur, dan mencari berkah dari tempat bersejarah ini.
BACA JUGA : Masjid Kayu Tua Taman Indah, Warisan Islam di Kalimantan
Lokasi dan Akses
Masjid Jami Angke Al-Anwar beralamat di Jalan Pangeran Tubagus Angke, Gang Masjid, Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Lokasinya berada di perkampungan padat, sangat dekat dengan Kali Angke, dan berada tidak jauh dari daerah Jakarta Lama.
Akses ke masjid bisa melibatkan jalan gang kecil karena lingkungan padat penduduk. Meski demikian, banyak warga lokal dan pengunjung tetap menjangkau masjid ini dengan berjalan kaki atau kendaraan kecil.
Karena statusnya sebagai cagar budaya dan masjid aktif, pengunjung diharapkan menghormati aturan berziarah, berpakaian sopan, dan menjaga kebersihan lingkungan masjid.
Tantangan dan Pelestarian
Sebagai bangunan tua, Masjid Angke menghadapi tantangan perawatan, seperti kerusakan atap, kelembapan, serta tekanan urbanisasi di sekitarnya.Upaya pemugaran dilakukan dengan hati-hati agar bentuk asli dan karakter historisnya tetap terjaga.
Karena berada di kawasan rawan banjir (dekat Kali Angke), struktur masjid harus diperkuat agar tahan terhadap kondisi lingkungan ekstrem. Peninggian lantai bagian dalam adalah salah satu adaptasi arsitektural yang sudah dilakukan.
Selain itu, tantangan sosial seperti perubahan demografi lingkungan dan hilangnya pengetahuan generasi muda tentang sejarah lokal dapat mengancam nilai spiritual dan identitas masjid. Maka perlu program edukasi sejarah dan pelestarian budaya.
Kesimpulan
Masjid Jami Angke Al-Anwar — atau Masjid Angke — bukan sekadar tempat sholat, melainkan ikon sejarah dan simbol kebhinekaan Jakarta. Lewat arsitektur akulturatifnya, usia yang jauh melampaui abad, dan fungsi sosialnya, masjid ini memperlihatkan bagaimana Islam dan budaya lokal bisa saling berpadu harmonis.
Perjalanan panjang masjid ini dari 1761 hingga kini menyisakan banyak hikmah: toleransi, kerja sama antar etnis, dan rasa hormat terhadap leluhur. Di tengah modernitas kota Jakarta, Masjid Angke mengingatkan kita bahwa akar sejarah dan warisan budaya tidak boleh dilupakan, melainkan harus dijaga dan diwariskan.